Pelaksanaan Pengumpulan Data SMARThealth di Desa Kontrol
Penulis : Budiarto Eko Kusumo | │ | Penyunting Naskah: Budiarto Eko Kusumo |
Usai dibekali training selama empat hari (30 Januari-2 Februari 2017), keesokan harinya enumerator yang sudah dibagi menjadi empat Tim tersebut mulai berkemas meninggalkan Hotel Santana Syariah Kepanjen menuju ke daerah penempatannya masing-masing.
Tim Mendalanwangi akan bertugas di Desa Mendalanwangi (Wagir), Tim Kendalpayak akan bekerja di Desa Kendalpayak (Pakisaji), Tim Cepokomulyo akan berdarma di Kelurahan Cepokomulyo (Kepanjen), dan Tim Majangtengah akan berdinas di Desa Majangtengah (Dampit).
Foto: Enumerator Majangtengah sedang menuju ke rumah responden |
Begitu sampai di basecamp mereka masing-masing, Tim Enumerator diberi waktu selama tiga hari untuk melakukan silaturahmi dan sosialisasi perihal Control Baseline Survey ini. Mereka akan bersilaturahmi kepada Kepala Desa atau Kepala Kelurahan, Ketua RW, Ketua RT maupun tokoh masyarakat yang ada di daerah tersebut. Tujuannya selain memperkenalkan diri sebagai Tim yang akan bertugas di daerah itu, juga sekaligus menjelaskan tujuan dari Control Baseline Survey tersebut.
Tim Enumerator mulai turun lapang untuk melakukan pengumpulan data (field works implementation) pada hari Selasa, 7 Februari 2017 secara serempak di 4 desa kontrol tersebut, dan berakhir pada hari Sabtu, 8 April 2017.
Foto: Enumerator Kendalpayak sedang menuju ke rumah responden |
Dari total penduduk berjumlah 36.294 orang di empat desa kontrol, total populasi orang yang berumur 40 tahun ke atas adalah 11.827 orang. Jadi, total populasi itulah yang menjadi target dikunjungi dan diwawancarai oleh enumerator di empat desa kontrol tersebut.
Dalam field works implementation, enumerator berhasil melakukan skrining terhadap penduduk yang berumur 40 tahun ke atas sebanyak 11.739 orang dari total target populasi sejumlah 11.827 orang. Sedangkan selisih 88 orang tersebut dikarenakan ada sejumlah warga yang menolak untuk dilakukan skrining oleh enumerator, entah karena mereka takut dengan jarum atau memang mereka memang benar-benar tidak mau berpartisipasi dalam skrining tersebut. Selain itu, di kala jadwal collecting data oleh enumerator sedang berlangsung, ada beberapa warga yang kebetulan sedang bekerja keluar daerah untuk waktu yang cukup lama, atau masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah ‘boro’.
Boro berasal dari bahasa Jawa, dari kata ‘ngemboro’ atau ‘mboro’ yang artinya meninggalkan desa tempat tinggalnya pindah ke daerah lain (waktunya sementara) dengan tujuan mencari penghasilan, meningkatkan status sosial ekonomi, dan pada saat-saat tertentu ia kembali ke desanya dengan membawa uang (remitan) dan kemudian ia kembali ke tempat tujuan. Dalam Sosiologi, boro itu identik dengan migrasi sirkuler. *** [090417]
0 Comments: